Program asimilasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Kemenkumham) sebagai dampak dari pandemi corona menuai pro dan kontra di masyarakat. Seperti diketahui, Menkumhamtelah membebaskan sekira 36 ribu narapidana dari penjara melalui program asimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah penularan Covid 19 di penjara. Sayangnya, tak sedikitmasyarakat yang takut para napi tersebut berulah kembali karena kondisi ekonomi di tengah wabah memang sedang tidak baik.
Ketakutan tersebut akhirnya terbukti juga. Tak sedikit dari para napi tersebut kembali dicokok polisi. Guna menanggapi hal ini,Yayasan Mega Bintang, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, dan Ketua Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia melayangkan gugatannya.
Gugatan tersebut mereka ajukan ke Pengadilan Negeri Surakarta. Dalam gugatannya, pihak penggugat tak hanya menyasar Menkumham saja,tapi jugaKepala Rutan Kelas I A Surakarta dan Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah. "Kenapa ini sampai kami lakukan gugatan ini, karena banyak masyarakat yang komplain kepada kami. Sekarang semua harus jaga pos ronda. Awalnya, Wakil Ketua Yayasan Mega Bintang Rus Utaryono merasa jika program tersebut bisa diterimadengan dalih mencegah penyebaran Covid 19.
Sayangnya, ia menganggapada efek yang tidak dipertimbangkan Menkumham. Di beberapa tempat terdapat aksi kriminalitas yang dilakukan oleh narapidana yang menghirup udara bebas lantaran mendapat asimilasi. "Ini seperti teror tersendiri di tengah teror Covid 19.
Jadi teror sekarang ini rakyat menghadapi dua tekanan yang luar biasa. Secara psikis dan secara fisik sekarang ini," ujarnya. "Bagaimana tidak, secara psikis terteror oleh corona secara fisik kita terserang oleh apa yang namanya ekspresi ketakutan," imbuh Rus.
Saat ini masyarakat telah menginiasi pengamanan lingkungan secara mandiri. "Warga ini sekarang harus begadang. Social distancing menjadi sia sia karena setiap malam warga berkumpul di gang gang, di pos ronda.
Seolah olah tidak ada corona padahal itu membahayakan kesehatan," ujarnya. Rus jugamenilai pemerintah telah ceroboh dan tidak mempertimbangkan efek yang timbul dari pembebasan bersyarat. "Oleh karenanya kami mengajukan gugatan agar pemerintah secepatnya mencabut kembali kebijakan itu sekaligus pemerintah meningkatkan upaya perlindungan, ketertiban, dan keamanan masyarakat seluruhnya. Ini adalah gugatan hak sipil kepada negara," ujarnya.
Sementara itu, salah satu kuasa para penggugat dari Kartika Law Firm, Sigit N Sudibyanto berujar, bahwa pemerintah telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Pasal 1365 Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata. "Ini perbuatan melanggar hukum, ada empat unsur di sana. Disengaja atau tidak disengaja itu menyalahi secara hukum dan asas kepatuhan," ujarnya.
"Yang kedua adalah adanya kerugian, baik kerugian materiil dan kerugian nonmateriil. Unsur ketiga adalah adanya hubungan kausal antara perbuatan tadi dengan kerugian tadi. Keempat adanya penggantian kerugian, itu unsur unsur dalam perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365, " imbuhnya.
"Kami minta pemerintah atau tergugat meninjau ulang atau menyatakan tidak berlaku Permenkumham tadi kemudian melakukan revisi," pungkasnya. Di sisi lain,Yasonna Laoly mengaku sudah menyiapkan sejumlah antisipasi atas dampak dampak yang terjadi usai membebaskan narapidana termasuk jika kembali berulah. "Sudah dong (disiapkan). Di manapun adaresidivisme, tapi yang sekarang ini sangat sangat kecil sekali.
"Contoh hoax: Polisi yang mengejar begal bawa celurit di Jakarta Timur, disebutnapiasimilasiyang baru keluar, padahal sama sekali bukan!," lanjut Yasonna. Yasonna Laoly lantas meminta jangan menjadikannapiasimilasisebagaikambinghitamsoal tingginya angkakejahatan. "Ingat dalam kondisi ekonomi sulit seperti ini, pasti ada dampak kepadakejahatan, tapi jangan kambinghitamkan semua padanapiasimilasi.
Hitung saja presentasi antara yang keluar dan yang mengulang kembali," ujarnya.
Comment here